Kata-kata
MERDEKA pernah menjadi begitu sakral dan mewarnai hari-hari awal perjalanan bangsa ini. Begitu banyak jargon, semboyan dan seruan yang menggemakan kata
MERDEKA dalam berbagai bentuk dan kesempatan seperti antara lain,
MERDEKA ATAOE MATI !,
SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA !. Bahkan Preambule Undang-Undang Dasar 1945, dalam Alinea pertama kalimat pertama, secara tegas mencantumkan, “
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…”.
Begitu sakralnya kata tersebut sehingga mampu menjadi elan vital yang sanggup menggerakkan energi seluruh anak bangsa untuk berjuang dan rela berkorban membangun perlawanan terhadap penjajahan dan ketertindasan demi sebuah kata, “
MERDEKA…!!!”. Kentalnya pemahaman terhadap pemaknaan kata tersebut merasuk kedalam setiap sel darah dan tulang sumsum serta jiwa raga segenap anak bangsa.
Saat ini, setelah lebih dari 60 tahun (red: sekarang 65 tahun) Kemerdekaan itu berhasil diperjuangkan dengan mengorbankan setiap titik keringat dan darah para putra bangsa, “
Masihkah tersisa arti dan makna kata MERDEKA di hati sanubari kita para pewarisnya?!”, “
Apakah setiap bongkah batubata yang kita susun menjadi rumah masih disertai kenangan atas bagaimana Kemedekaan ini diraih?!”, “
Apakah setiap bulir nasi yang masuk ke mulut kita masih diimani oleh semangat yang sama seperti yang dimiliki oleh para pejuang kita?!”, “
Apakah setiap sen yang masuk ke dalam kantung kita bisa dipertanggungjawabkan kepada jiwa-jiwa para pejuang kita yang telah gugur?!”.
Pertanyaan-pertanyaan di atas semata-mata tidak untuk mengadili setiap orang dari kita. Melainkan sebagai sebuah ajakan untuk menemukan kembali makna dari apa itu sesungguhnya kehidupan, berbangsa dan bernegara yang sudah lama hilang di Bumi Persada Nusantara ini. Menjadi wajar kalau bangsa ini sekarang tidak mampu menjadi bangsa yang
adiluhung gemah ripah loh jinawi, adil makmur toto tentrem kerto raharjo.
Tidak berlebihan rasanya di tengah carut-marutnya penyelenggaraan Negara yang hanya dipenuhi aroma kekuasaan serta ditingkahi dengan gejolak jagad yang berunjuk rasa dengan bencana-bencana alamnya, inilah saat yang tepat bagi kita mencoba melakukan perenungan untuk menemukan kembali jati diri kita sebagai sebuah bangsa !.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perjuangan para Pahlawannya..
Bangsa yang menghargai para Pahlawannya adalah Bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah Bangsanya..
Dalam sebuah kesempatan yang sangat langka, Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno menguraikan secara langsung mengapa dalam setiap pembukaan dan penutupan pidatonya beliau selalu meneriakkan kata
MERDEKA. Beliau mengatakan, “bahwa Kemerdekaan sebuah bangsa yang sesungguhnya hanya bisa tercapai ketika setiap anak bangsa mampu me
MERDEKAkan dirinya dalam arti yang sebenar-benarnya”.
Dengan kemampuan retorikanya sebagai seorang orator yang dikenal
mumpuni, sebelum sempat ada yang menanyakan apa yang dimaksud dengan, “Mampu me
MERDEKAkan dirinya dalam arti yang sebenar-benarnya”, beliau langsung menyambung uraiannya, “Yang aku maksud dengan mampu me
MERDEKAkan dirinya dalam arti sebenar-benarnya adalah bahwa setiap anak bangsa ini harus mampu me
MERDEKAkan dirinya dari rasa takut, takut untuk menggunakan hati nuraninya dalam menjalani hidup, takut untuk mengatakan sesuatu yang benar dengan sebenar-benarnya dan mengatakan bahwa sesuatu yang salah adalah salah dengan sebenar-benarnya”.
Beliau juga menambahkan, “Bahwa mampu me
MERDEKAkan dirinya dalam arti sebenar-benarnya, itu juga berarti tidak terjajah oleh materi, kebendaan dan keduniawian yang bersifat semu dan sementara sehingga tidak berpamrih atau mengharapkan sesuatu imbalan atas setiap apa yang dilakukannya. Setiap perbuatan selalu dilakukan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan”.
Selain itu, beliau juga menandaskan, “Bahwa mampu me
MERDEKAkan dirinya dalam arti sebenar-benarnya adalah ketika anak bangsa ini mampu membebaskan diri dari rasa sombong dan gila popularitas karena mereka bersikap rendah hati dan
andap asor; juga dari rasa takut menderita karena mereka pandai mensyukuri dan tidak mudah putus asa; rasa ingin berkuasa dan menang sendiri karena mereka mampu bersikap demokratis membuka diri terhadap perbedaan dan mengedepankan semangat gotong-royong”.
Dalam kesempatan itu beliau juga mengatakan, “Manusia yang
MERDEKA adalah manusia yang terbebas dari rasa
iri, dengki, srei, dahwen, panasten dan
patiopen. Sehingga menjadi manusia yang selalu
setiti, nastiti, surti dan
hati-hati”. “Manusia yang
MERDEKA bukan manusia yang ‘hanya’ mampu bersikap
BAIK, juga bukan manusia yang ‘hanya’ mampu bersikap
BIJAKSANA, tapi adalah manusia yang mampu bersikap
BAJIKSANA ”!, sambung beliau.
Di akhir uraiannya, beliau menegaskan, “Jikalau bangsa ini tidak mau segera kembali kepada
KESEJATIANNYA sebagai bangsa yang
MERDEKA dalam arti yang sebenar-benarnya, maka tak akan pernah bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Bangsa yang
adiluhung gemah ripah loh jinawi, adil makmur toto tentrem kerto raharjo. Camkan kata-kataku ini !”.
Merdeka !, Merdeka !, Merdeka !, tiga kali aku ucapkan kata-kata itu…